~ Sekedar tulisan, tidak lebih ~

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

"Sebuah logam berwarna kuning tergeletak tak bertuan saat sedang mengisi bensin. Aku memungutnya dan membawanya pulang. Logam ini bukan logam mulia, logam ini bergambar garuda dan bunga melati bertuliskan 500 rupiah. aku mengambilnya dan menyimpannya di tempat uang receh, lumayan untuk investasi tanggal tua atau untuk membeli butiran tahu bulat di goreng dadakan anget-anget lima ratusan."
Lima ratus rupiah alias gopek. Kini mungkin tak terlalu diperhatikan, ia hanya pelengkap dan hanya akan dicari ketika saat-saat krusial seperti dihampiri pengamen, pengemis atau pun saat berjumpa pak ogah, bahkan untuk parkir di mini market saja terasa kurang.
Saat sekolah dasar dulu yaitu di MI PUI setiap hari jatah uang jajan adalah lima ratus rupiah. Aku pernah memiliki sebuah pengalaman dengan lima ratus rupiah yang akhirnya membuatku begitu menghargai recehan. Sedikit pilu memang tapi akhirnya itu menjadi pengalaman ketika beranjak dewasa.

Ketika itu seperti biasa aku berangkat sekolah berjalan kaki. Setibanya di kelas, ku pandangi jadwal piket yang dipajang di dinding beralas kertas warna warni. Aku masih ingat, hari itu adalah selasa dan itu giliranku untuk piket. Siswi perempuan membersihkan kelas sementara siswa laki-laki membuang sampah dan membersihkan halaman sekolah.

Di halaman sekolah, aku dan Tajudin dan yang lain mulai menyapu daun-daun yang berguguran, mengumpulkannya pada satu tempat dan membuangnya pada tempat sampah. Setelah halaman bersih, akupun membawa sampah-sampah itu untuk dibakar. Biasanya setiap pagi marbot masjid desa selalu membakar sampah, disitu aku menumpang buang sampah dan membakarnya. karena berat dan ember sampah agak besar aku sampai harus membungkuk untuk mengeluarkan sampah-sampah tersebut.

Saat itu aku masih memakai dempul bedak cap marion namun seragam sudah mulai berganti aroma. Setelah semuanya beres aku ke toilet untuk mencuci tangan dan melakukan rutinitas yang ditunggu-tunggu yaitu jajan. Sedikit lelah karena piket mulai berangsur pulih ketika jendela kantin terbuka dan ciki-ciki itu terlihat, seketika siswa siswi langsung berkerumun di depan kampus yang dijaga Bu Tati yang merangkap guru di MI ini.

Akupun tak sabar untuk jajan. layaknya anak-anak, mata ini begitu berbinar-binar saat berhadapan dengan jajanan di depan mata. akupun memilih jajanan yang akan dibeli. Saat itu aku membeli ciki guntur dan keripik jaipong. Aku memilih ciki guntur karena didalamnya terkadang berhadiah uang dan untuk mengincar itu kemasannya harus dikocok-kocok, jika terasa berat kemungkinan ada hadiahnya.

Setelah yakin dengan pilihan ciki guntur yang agak berat akupun merogoh kantong untuk membayarnya. Disinilah tragedi lima ratus itu bermula, uang jajanku tak ada di dalam kantong. Semua kantong saku dirogoh namun tak ada, dengan berkecil hati aku megembalikan ciki guntur itu dan tidak jadi jajan.

Lalu, ada yang membeli dan mengambil ciki itu dan aku mengikutinya. Setelah dibuka dan di korek, benar saja ada hadiah lima ratus rupiah. Aku hanya bisa diam melihat mereka bersuka ria jajan bermain dan tertawa sementara aku hanya berdiri melihat mereka dan menunggu bel masuk berbunyi. tak kuat melihat riangnya mereka aku memutuskan menunggu bel di kelas.

Ketika jam istirahat tiba, aku berlari bergegas pulang barangkali uang jajanku tertinggal di meja. Di rumah tak ada siapa-siapa karena mamah ada di ladang. Setibanya di rumah ternyata tak ada uang di meja, Aku berpikir tak mungkin harus menyusul ke ladang karena takut waktu istirahat keburu habis. Sambil berjalan kembali ke sekolah aku berjalan agak pelan untuk menyusuri jalan mencari uang jajan barangkali terjatuh saat berangkat sekolah pagi tadi.

Nihil, uang jajanku tetap tak ditemukan sampai aku kembali.

Jujur aku menangis dan benar-benar sedih saat itu. Aku mondar-mandir di halaman sekolah mencari uang jajanku. Aku mengorek tempat sampah sementara yang lain bermain jajan bersenda gurau dll. Akhirnya, akupun pasrah dan ikhlas tidak jajan. Saat aku menuju alun-alun depan masjid untuk melihat teman-teman bermain sepak bola plastik, aku melihat tempat pembakaran sampah pagi tadi masih mengepulkan asap.

Berbekal sebilah ranting, aku menghampiri pembakaran sampah dan mengorek-ngoreknya. Tak lama kemudian asap mulai mengepul semakin banyak, mengetahui banyak asap sang marbot masjid keluar dari persembunyian dan berteriak ...

"Heii, ulah di kokoreh. ngebuul. Indit kaditu kaditu."

Karena takut, aku berlari dan bersembunyi di belakang gedung sekolah. Dibalik gedung aku mengintip marbot masjid membawa ember berisi air lalu menyiramkanya untuk meminimalisir asap. Setelah marbot pergi aku kembali mengorek tempat pembakaran sampah.

Karena tak kunjung ditemukan aku mulai putus asa. Mengorek tempat pembakaran sampah tak lebih menjadi pelampiasan, aku patahkan ranting dan jongkok sambil memainkan sampah-sampah yang sudah terbakar. tapi secara tak sengaja di balik lelehan plastik kemasan ciki aku menemukan uang logam lima ratus.

Inilah uang jajanku, akhirnya ditemukan meskipun dalam keadaan hitam dan setengah gosong. Senang sekali rasanya saat itu. aku mengambil daun pohon mangga untuk membawa uang tersebut dan mencucinya. Namun, saat dicuci uang tersebut tetap hitam sebagian dan sulit untuk dihilangkan.

Tak sabar akhirnya aku langsung jajan dan menghampiri tukang batagor. Tapi, aku kembali bersedih. Tukang batagor tak mau menerima uang gosong.
Akhirnya, hanya bisa diam. Sebelum kembali ke dalam kelas, aku kembali melemparkannya ke tempat pembakaran sampah.

So sad ! :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

| Designed by Colorlib